Headline 4

BEBERAPA hari lalu, saya mendiskusikan sebuah persoalan –tidak terlalu rumit- namun harus benar-benar dilalui melalui pendekatan nalar sehat. Teman tersebut menanyakan satu hal: Mengapa, kerajaan Sunda seperti Pajajaran atau kerajaan lain yang pernah ada sebelum Pajajaran sangat sedikit sekali meninggalkan prasasti jika dibandingkan dengan kerajaan lain yang ada di Nusantara ini? Ada semacam cerita, kerajaan seperti Pajajaran ini , saat masa kejayaannya berakhir disembunyikan ke alam jin, sebanding dengan ketika ngahyang-nya Siliwangi sebagai raja Pajajaran, benarkah demikian?

Ngahyang dalam tradisi yang telah lama berkembang di masyarakat Sunda memiliki arti tilem, hilang. Secara etimologi, ngahyang adalah kembalinya ‘ruh’ manusia kepada Sang Pencipta setelah mengalami masa samsara, dalam term Hindu dan Budha, kata ngahyang sepadan dengan moksa. Kembali ke kahyangan. Di dalam masyarakat Sunda terdapat banyak istilah yang bisa merujuk kepada kata hyang, besi berkarat disebut tai hyangan, nama Tatar Pasundan sendiri disebut Parahyangan, Sang Hyang sebutan bagi kekuatan di luar batas manusiawi.

Meskipun Siliwangi merupakan seorang raja dan sekaligus sebagai manusia, maka ngahyang-nya Siliwangi harus ditempatkan dengan cara pandang manusia biasa. Seorang Raja akan kembali kepada posisi sebagai rakyat biasa. Sistem monarki merupakan siklus kekuasaan terbatas. Seseorang bisa menjadi raja namun pada saatnya nanti akan kembali menjadi rakyat biasa. Begitu juga dengan sistem pemerintahan dan bentuk kekuasaan lainnya. Pembatasan kekuasaan dimaksudkan agar seorang penguasa tidak melebihi batas dan bersikap sewenang-wenang selama berkuasa. Adalah wajar ketika seorang Siliwangi pasca lengser dari singgasana kerajaan kemudian meleburkan diri ke dalam kehidupan rakyat biasa. Kekuasaan tertinggi meskipun Pajajaran menerapkan sistem monarki tetap ada di tangan rakyat, rakyat sendirilah sebenarnya sebagai hyang kuasa.

Adalah benar jika Prabu Jayadewata melakukan incognito dan pengembaraan ke pelosok-pelosok perdesaan. Bentuk keniscayaan seorang manusia ketika telah mengenyam berbagai pengalaman baik sosial, emosional, maupun spiritual akan sampai pada puncak pengalaman spiritual tertinggi, di zaman tersebut puncak pengalaman spiritual seorang manusia ditandai oleh sebuah pengembaraan. Berbeda dengan seorang manusia ketika tingkat pengalamannya baru sampai menyentuh ranah material, kehidupannya hanya akan berkutat pada bagaimana cara mencukupi diri dengan persoalan material, siklus kehidupannya akan terus itu-itu juga seperti sebuah robot, pada akhirnya tinggal menunggu kematian saja.

‘Tilem’ atau ngahyang dalam berbagai varian penafsiran yang lama berkembang di masyarakat Sunda adalah hilang dan kemudian memasuki alam ghaib. Tidak salah, namun harus dipertegas dengan pengakuan bahwa siapapun dia - baik seorang raja atau rakyat biasa - akan mengalami tahapan tersebut ketika manusia telah dinyatakan meninggal. Dalam term keislaman telah jelas, pemaknaan ngahyang ini ditegaskan dengan sebuah ayat: ‘ innaa lillaahi wa innaa ilayhi rooji’uun ‘. Dalam keyakinan lain pun demikian, agama-agama semitik seperti Yahudi, Kristen sering mengucapkan: ‘ kembali ke sisi-Nya’ atau ‘telah kembali ke sorga-Nya’ bagi seseorang yang telah meninggal dunia. Ada prasangka, Siliwangi memasuki alam jin saat ngahyang beserta kerajaannya. Pandangan seperti ini –menurut hemat saya – harus dikaji ulang.

Benar, beberapa kerajaan Sunda seperti Salakanagara dan Pajajaran hanya menyisakan sedikit prasasti atau peninggalan yang bisa dikaji oleh generasi sekarang. Mengapa demikian? Masyarakat Sunda sejak semula ada hingga tahun 60-an masih memegang teguh tradisi bagaimana mereka membuat tempat tinggal, seperti apa waruga bangunannya, dan dari apa bahan yang digunakannya. Masyarakat ‘Baduy Dalam’ sampai saat ini tetap memegang teguh tradisi karuhun, bagaimana seharusnya sebuah rumah dibangun. Bahan pembuat bangunan dari bambu atau kayu sudah tentu berbeda dengan bangunan yang terbuat dari beton. Ia bisa lapuk dimakan usia, pesan dari para leluhur kita telah jelas: jika bentuk dan jenis bangunan yang telah diwariskan oleh leluhur Sunda ini tidak dijaga dengan cara membuat kembali bangunan-bangunan khas Sunda sudah bisa dipastikan masyarakat Sunda sendiri akan kehilangan jejak seperti apa bangunan asli yang telah diwariskan oleh leluhur kita? Bukankah saat ini arsitektur-arsitektur - mayoritas masyarakat - lebih berkiblat kepada arsitektur Eropa dan betonisasi? Bahkan, jenis rumah panggung saja - di zaman sekarang - telah dikategorikan sebagai Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu). Yang telah hilang dalam diri kita ini sebetulnya bukan prasasti atau bukti jika di Tatar Sunda ini pernah berdiri kerajaan-kerajaan hebat kecuali keinginan kuat dalam diri kita untuk tetap membangun budaya dan peradaban yang telah diwariskan oleh leluhur sendiri.

Di zaman sekarang, kita memiliki sangkaan sederhana, babak sejarah peradaban manusia hanya dipandang sebatas pada tahapan-tahapan antara zaman prasejarah dengan zaman sejarah, hanya ditentukan oleh belum mengenal aksara dengan telah mengenal aksara. Pandangan seperti ini memang terlalu sederhana. Kita akan dengan sangat cepat menolak ‘evolusi kosmik’ yang disuguhkan oleh para astronom dan kosmolog, demi mendengar kata evolusi saja kita telah begitu alergi, karena kita sering membayangkan kata evolusi tersebut dengan perubahan seekor kera tiba-tiba menjadi manusia. Tanpa kita sadari, alam semesta ini terus melakukan evolusi, tumbuhan satu hilang lalu tumbuh kembali tumbuhan baru, sudah tentu karena ini merupakan evolusi maka perubahannya pun memerlukan waktu cukup lama.

Yang selalu terbayang dalam benak sebagian besar manusia adalah: peradaban manusia hanya berlaku selama satu fase saja, sejak Adam diturunkan ke bumi sampai kiamat nanti. Untuk dua hal ini saja kita masih enggan memberikan penafsiran lain tentang bagaimana Adam diturunkan ke bumi, dan bagaimana kiamat itu terjadi? Jalan pintasnya tentu saja kita hanya cukup mengatakan semuanya telah dijabarkan dalam kitab-kitab suci, meskipun kitab-kitab suci sendiri sama sekali tidak menjabarkan secara detail bagaimana persisnya peristiwa di masa lalu itu terjadi.

Perbandingan antara usia peradaban manusia terbaru (± 10.000 tahun) dengan usia alam semesta ini begitu jauh berbeda (± 12 milyar tahun), sudah dipastikan sebelum adanya peradaban manusia seperti sekarang, selama bermilyar-milyar tahun alam semesta ini berjalan begitu saja tanpa ada aktivitas kehidupan. Bagi para astronom dan kosmolog, kenyataan seperti ini dipandang sebagai sebuah kehampaan, tidak memiliki arti sama sekali. Sebab Tuhan menciptakan alam semesta ini harus memiliki arti terutama bagi manusia sebagai mahluk penafsir dan pemberi arti terhadap setiap fenomena yang terjadi.

Keberadaan gunung, bukit, sungai, dan lautan dengan ribuan vegetasi dan satwanya, yang tetap terjaga sejak milyaran tahun lalu masih belum bisa menjadi petunjuk bahwa segala sesuatunya telah dirawat dengan baik oleh leluhur kita. Kenampakan alam sering kita artikan sebagai hal yang dibentuk oleh alam semata. Mengapa wilayah Timur Tengah tandus? Sementara proses penciptaan bumi dan alam semesta ini diperlakukan dengan sangat adil oleh Tuhan? Tandusnya sebuah wilayah ditentukan oleh sikap-sikap manusia yang mendiami wilayah tersebut. Maka sangat tidak mustahil - di masa mendatang- kondisi negeri ini akan memiliki kemiripan dengan wilayah Timur Tengah, tandus dan gersang.

Keberadaan Gunug Gede saja - bagi saya - telah menjadi petunjuk jika di Tatar Sunda ini pernah menjulang sebuah peradaban, manusia-manusia perawat alam, hingga kesuburan dan keindahannya bisa tetap dinikmati oleh generasi sekarang. Jika tidak percaya, maka jadilah raksasa atau buta ijo, silakan kerontangkan tanah di negeri ini, lantas wariskan kepada anak-cucu kita. Campur tangan Tuhan berlaku dalam sebuah sistem dan hukum-hukum alami. Jika kita benar maka kita akan mewarisikan kebenaran, namun jika kita tetap culas dan gemar berperang maka kita hanya akan mewariskan bumi tandus dan gunung yang gundul. Tanpa menyisakan jejak apapun.

Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Headline 4"