PENELITIAN terhadap
beberapa kampung di Kecamatan Lembursitu yang menggunakan kata ‘Situ’ dalam
penamaannya merupakan sebuah upaya untuk membuka cakrawala baru kepada
masyarakat dalam memandang pentingnya penulisan sejarah kampungnya sendiri.
Nama-nama perkampungan di Lembursitu tersebut antara lain; Lembursitu, Situgedé
Situmekar, dan Situéndah . Dua nama terakhir; Situmekar berdiri sebagai dampak
dari pemekaran désa Lembursitu saat perluasan wilayah Pemerintahan Kota
Sukabumi dan Situéndah merupakan nama tempat yang merujuk kepada keindahan
sebuah Situ, meskipun tidak terhubung dengan peristiwa yang menyeratainya di
masa lalu namun tetap memiliki keterikatan dengan Lembursitu. Lebih jauh
penggunaan kata “Situ” ini sama sekali tidak dimiliki oleh nama perkampungan
lain di Kota Sukabumi. Kata “Situ” memiliki arti telaga atau danau. Dalam
Bahasa Sunda, kata ini searti dengan talaga.
Tradisi
yang berkembang di masyarakat Sunda dalam memberikan nama kepada suatu hal
selalu erat dengan ‘silib siloka’ atau makna tersembunyi
dan kirata, dikira-kira tapi nyata. Dengan melakukan pendekatan
melalui ‘siloka’, kata Situ ini berhubungan erat dengan dua unsur dalam konsep
tritangtu kasundaan, Ra-Si, dan Ra-Tu. Ra-Si dan Ra-Tu, guru dan raja, dua
unsur penjaga kehidupan terwakili oleh unsur air dan batu, unsur Ra-Ma tidak
terdapat dalam kata Situ ini mengisyaratkan Ra-Ma sebagai tanah tidak lebih
dominan dari Ra-Si dan Ra-tu. Ciri sebuah kekuasaan sehat salah satunya
dibuktikan dengan nasihat Ra-Si kepada Ra-Tu. Dalam kasundaan terdapat
peribasa: Cai karacak ninggang batu, laun-laun jadi legok, ini bisa
diinterpretasikan, seorang Resi atau guru harus senantiasa memberikan air
petuah atau pikukuh kepada Ra-Tu meskipun sang Ra-Tu memiliki
karakter keras bahkan bebal.
Akan sangat
berbeda antara pencarian makna atau arti melalui pendekatan siloka dengan kirata.
Menurut pendekatan kirata, Situ merupakan sebuah akronim, Sisina
dipinuhan batu(Tepiannya dipenuhi bebatuan). Pendekatan ini memang tidak
lebih kuat jika dibandingkan dengan pendekatan siloka yang
lebih menekankan kepada penafsiran filosofis. Paling tidak ada benang merah dan
titik temu antara dua pendekatan ini, dua unsur, air dan batu terlihat hadir
dalam kata Situ.
Hal di
atas telah menjadi jawaban sementara terhadap pertanyaan tentang toponimi atau
asal-usul penamaan perkampungan di wilayah tersebut. Pertanyaan susulan selalu
muncul antara lain: Jika perkampungan di Kecamatan Lembursitu tersebut – memang
merupakan – telaga, mengapa saat ini, tidak ditemukan sisa-sisa telaga
tersebut? Apakah penyebutan situ merupakan metafora saja karena letak geografis
perkampungan-perkampungan tersebut memang berada di dataran rendah?
Satu
persoalan mendasar dalam mengurai sejarah Sukabumi dan entitas-entitas terkecil
darinya adalah terlalu sedikit literatur baik tertulis maupun berbentuk
arkeologis mengenai Sukabumi sendiri. Hal ini disebabkan, Sukabumi baru muncul
dan dikenal pada pertengahan abad ke-19, padahal di abad-abad sebelumnya sudah
dipastikan telah berkembang kehidupan dan perkampungan-perkampungan di daerah
ini. Dalam Naskah Wangsakerta, saat Pangeran Wangsakerta menyelenggarakan gotrasawala (saresehan)
dengan para mahakawi (ahli sejarah) se-Nusantara pada tahun
1677 M, belum disebutkan nama Sukabumi. Ini menjadi penyebab –bukan hanya
mengurai sejarah – semangat untuk menjelajahi alam Sukabumi di masa lalu kurang
memikat perhatian para ahli. Maka, diperlukan pendekatan dialogis dengan
beberapa penutur atau nara sumber, tokoh-tokoh dan orang yang dipercaya
mengerti – meskipun tidak utuh – cerita yang berkembang di daerahnya sendiri.
Hasil
wawancara dengan beberapa orang di perkampungan sepanjang Lembursitu sampai
Situgedé - Santiong, tentang keberadaan telaga-telaga berukuran kecil memang
pernah dan sering dibicarakan oleh buyut dan kakek-nenek mereka. Salah satu
nara sumber menyebutkan, Lembursitu merupakan penamaan yang tepat, sebab
sebelum terjadi asimilasi antara budaya Sunda dengan Mataram, di daerah
tersebut terdapat banyak telaga kecil. Masuknya pengaruh budaya Jawa (Mataram)
antara abad ke-17 hingga 18 ke daerah ini telah mengubah cara masyarakat
bercocok tanam dari sistem ngahuma, pertanian mengandalkan air hujan ke sistem
bercocok tanam di sawah. Peralihan sistem pertanian ini menjadi salah satu
faktor penyebab beberapa telaga berukuran kecil dijadikan areal persawahan oleh
masyarakat.
Kecuali
hal tersebut, peralihan fungsi lahan dipengaruhi secara umum oleh kebijakan
Pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-18, lahan berupa rawa dan telaga
dangkal dijadikan areal persawahan untuk meningkatkan hasil panen. Menjelang
akhir abad ke-18, kebijakan umum Gubernur Jendral Van Inhoff ini memengaruhi
kehidupan masyarakat, budaya agraris dari sistem ngahuma lambat laun berganti
menjadi pertanian dengan mengandalkan sistem pengairan dan irigasi. Beberapa
selokan dibangun –tidak sekadar selokan yang dihasilkan oleh peristiawa alam
sebagai kenampakan alam-. Teknik bercocok tanam melalui pengelolaan sawah
diadopsi oleh masyarakat dari para pendatang. Sampai pertengahan abad ke-18,
masyarakat di Tatar Sunda baru mengetahui cara pengelolaan sawah dari para
petani Jawa (Jamaludin, 2013).
Meskipun
telaga-telaga berukuran kecil telah berganti menjadi areal persawahan, namun
penggunaan situ tetap melekat pada beberapa kampung di Lembursitu. Di sebelah
Tenggara kampung Lembursitu terdapat areal persawahan diapit oleh dua dataran
tinggi, Cipanengahhilir dan Tegaljambu. Dataran rendah dengan luas hampir 2 km2
itu jika dilihat dengan gambar tiga dimensi membentuk sebuah ceruk besar.
Menurut penuturan dari beberapa warga, daerah ini sebelum abad ke-15 memang
merupakan sebuah telaga, masyarakat menyebutnya Situgedé, sebuah telaga
berukuran besar jika dibandingkan dengan telaga-telaga yang terdapat di sebelah
barat Lembursitu. Situgedé digunakan sebagai penamaan perkampungan di daerah
tersebut sebelum masing-masing kampung mengganti nama dengan Cipanengahhilir,
Tegaljambu, Pangkalan dan Santiong.
Penamaan
kampung Cipanengahhilir sama sekali tidak memiliki hubungan dengan kontur alam
di wilayah tersebut. Penamaan ini diberikan sebagai perbatasan sebuah wilayah
antara Sungai Cipelang (Cipanengahgirang) dengan Sungai Cimandiri
(Cipanengahhilir). Penamaan beberapa kampung di Sukabumi kecuali menggunakan
kata Ci tau Cai juga sering menggunakan kata girang (atas) dan hilir (bawah),
seperti; Sudajayagirang dan Sudajayahilir, Cicadasgirang dan Cicadashilir,
Cipanengahgirang dan Cipanengahhilir, Cikundulgirang dan Cikundulhilir. Hal ini
ditentukan oleh keberadaan letak geografisnya.
Kecuali
itu, pendapat kedua tentang penamaan Situgedé bersumber dari seorang tokoh
masyarakat Cikundulhilir. Situgedé –bukan sebuah telaga yang terletak di antara
Cipanengahhilir dan Tegaljambu- melainkan sebuah dataran rendah yang terletak
di sebelah timur Santiong. Luas telaga purba dari Santiong sampai ke Rawagedé
ini mencapai 3 km2. Dari sana lah asal-usul penamaan Situgedé sebelum kampung
ini berganti menjadi Pangkalan dan kemudian menjadi Santiong pada tahun
1930-an. Sampai saat sekarang, Situgedé tetap digunakan sebagai nama sebuah
Sekolah Dasar oleh masyarakat Santiong.
Mengenai kapan peralihan nama dari Situgedé menjadi Pangkalan dan Santiong, kecuali disebabkan oleh keberadaan pemakaman Tionghoa (Santiong) juga bisa ditelusuri melalui sejarah atau riwayat kepemilikan tanah yang terdapat dalam Buku C atau Letter C. Riwayat tanah penulis peroleh dari Kantor Kelurahan Cipanengah, antara lain: peralihan status tanah tanah adat atau ulayat di salah satu Letter C terjadi pada tahun 1934, nama Santiong tertera di sana, diduga, peralihan dari nama Pangkalan menjadi Santiong ini sebagai transfer bahasa saja, antara Pangkalan (tempat mangkal atau peristirahatan) dengan Santiong memiliki arti yang sama dengan bahasa berbeda. Harus diakui, dengan hanya melihat peralihan status tanah tidak bisa dijadikan landasan kuat tentang peralihan nama dari Situgedé, Pangkalan menjadi Santiong. Paling tidak, hal ini merupakan salah satu pintu masuk yang dapat membuka penelitian lebih serius dalam menemukan kebenaran sejarah sebuah tempat.
Posting Komentar untuk "Sejarah Lembursitu"